Mengendarai sepeda pancal sih aku sudah mahir, bahkan sampai pernah nabrak segala lho (nabrak kok dibilang mahir..capee deh..). Sewaktu ikut Ekstra kurikuler Pramuka di SMP tahun 1989 aku pernah memperoleh Tanda Kecakapan Khusus (TKK) Bersepeda yang ada tanda roda sepeda itu lho.. Walaupun masih tingkat dasar (purwa) tapi instruktur/Pembina kami mengujinya (menurutku) sudah masuk level menengah.
Bayangkan, kami disuruh mengendarai sepeda dengan tangan kanan mengendalikan stang kemudi dan tangan kiri membawa ember yang berisi air. Bagi remaja seusia kami ujian itu termasuk lumayan berat soalnya harus bolak-balik lapangan basket 2 kali.
Kemudian dilanjutkan mengendarai sepeda dengan membuat jalur membentuk angka 8, lalu dilanjut yang terakhir naik dan turun dari sepeda dalam posisi bergerak..persis seperti tukang jualan tempe yang dulu sering keliling kampung.
Ketika masa pacaran dan baru menikah, aku berdua sama istri jika akan ke Samarinda cukup naik sepeda motor. Pada masa itu sih seneng aja berdua naik motor dengan menempuh 2 jam perjalanan Bontang-Samarinda, biasanya kami beristirahat 1 kali untuk peregangan dan istirahat sejenak atau cek2 motor.
Bahkan setelah mempunyai anak pertama kami berdua masih sempat beberapa kali ke Samarinda menggunakan sepeda motor. Karena faktor waktu tempuh yang bisa dipangkas juga karena keleluasaannya dan tidak ribet..dan satu lagi..hemat..he..he..he.
Kalo naik bis kan kita harus ke terminal dulu dan kalau dari tempat tinggal ku waktu itu ke terminal bis mesti naik taksi kota (kita bilang angkot dengan sebutan taksi kota karena dulu moda angkutan ini bisa mengantar sampai depan rumah) setelah itu biasanya masih menunggu penumpang lain atau baru bisa berangkat kalau bis nya sudah penuh.
Belum lagi nanti anak ku mabok perjalanan (turunan kayaknya tuh..masih mending dari pada mabok minuman keras..), terus di samarinda harus naik angkot lagi dari terminal antar kotanya menuju ke rumah mertua.
Karena beberapa factor yang diatas maka memang lebih fleksibel dan ekonomis jika kita menggunakan sepeda motor sendiri.
Kendalanya adalah..bisakah mengendarai sepeda motor?..berani ga melakukan perjalanan Bontang-Samarinda pulang pergi yang rutenya naik turun bukit.??
Solusi pertama adalah kita harus bisa naik sepeda motor..(ya iyalaah…) yang kedua adalah kita harus belajar kalo belum bisa (..gimana sih..ya iya doong..cape deeh..)
Nah ketika pertama kali menginjakkan kaki di Bontang waktu itu aku belum bisa mengendarai sepeda motor dan kebetulan temen satu kos ku Dony baru saja membeli sepeda motor bekas (second hand). Maka kesempatan itulah kumanfaatkan untuk belajar mengendarai sepeda motor.
Instruktur ku waktu itu ya temen2 satu kost yang sudah bisa mengendarai sepeda motor..seperti habib, Indrawan dan si pemiliknya sendiri Dony.
Ada satu kejadian lucu dan lugu menurut ku..ketika aku belajar mengendarai sepeda motor dengan membawa ‘instruktur’ ku hendak melewati suatu tanjakan. Posisi pada waktu itu adalah gigi 2 dengan full throttle gas, tapi menurutku yang sok tau kalo posisi menanjak kan perlu tenaga lebih apalagi sambil berboncengan. Ya sudah langsung saja kutambah perseneling menjadi gigi 3..dan tentu saja tuh motor seperti ‘ngeden’ meraung-raung begitu.
Wah pasti kurang nih tenaganya..pikir ku..lalu kutambah lagi saja persenelingnya ke gigi 4. walhasil tuh motor malah jalan ditempat karena berada di putaran Rpm atas dan posisi menanjak.
Instruktur ku langsung mengambil alih tuh motor..ya sudah kamu di belakang saja…lihatin dulu deh caranya mengganti perseneling..sergahnya..Yaa..kalo begitu besok bilangin dulu dong triknya..lagian kan kadang aku lupa sedang dalam posisi gigi berapa nih motor karena tidak ada indikasi nomor giginya..cuman Netral ama Top gear saja..
Tapi belakangan hampir disemua sepeda motor keluaran terbaru selalu ada indicator posisi giginya..mungkin dibuat khusus karena ada kasus seperti aku ini kali ya…??